15 May 2013

UNAS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN SISWA

UNAS (ujian akhir nasional) yang kerap dikenal dengan UN (ujian nasional) merupakan salah satu ujian terbesar dalam sejarah pendidikan di Indonesia, sehingga tidak mengherankan jika banyak kalangan yang menganggap UN sebagai Momok (suatu hal yang sangat menakutkan). Tanpa disadari, wabah momok ini ternyata telah melebar menjadi wabah nasional dalam bidang pendidikan, karena bukan hanya siswa (anak didik) saja yang sangat ketakutan, tetapi juga para guru bidang studi, institusi penyelenggara pendidikan serta para orang tua/ wali siswa yang bersangkutan. Hal ini bukan berarti kurikulumnya yang salah, atau tim pengajarnya yang keliru, tetapi tidak relevannya antara pendekatan pendidikan (education approach) dengan metode uji materi yang diterapkan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka sampai kapanpun pengukuran keberhasilan pendidikan tidak akan terwujud.
Banyak image yang menyatakan bahwa UN merupakan babak penentu keberhasilan pendidikan pada siswa disekolah. Hal ini tidak sejalan dengan garis-garis besar tujuan pendidikan menurut KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang mengutamakan ketuntasan dalam pengembangan tingkat kemampuan anak didik. KTSP memiliki banyak metode/ pendekatan dalam pelaksanaannya, indikator pencapaian keberhasilan, materi pokok bahan ajar tiap bidang studi, kompetensi dasar yang akan diajarkan, dimana segala tindak pendidikan harus berdasarkan pada tingkat kemampuan anak didik.
Tujuan inti KTSP sendiri adalah setidaknya mencakup tiga hal pokok yaitu mengembangkan Kognitif (kemampuan daya intelektual siswa), Psikomotorik (peningkatan skill secara kejiwaan), Afektif (kemampuan bersikap dan mensikapi segala yang ada, baik dalam proses belajar maupun bersosial dimasyarakatnya kelak). Apapun yang telah digariskan dalam KTSP inilah yang dengan sendirinya menolak UN sebagai instrumen penentu keberhasilan pendidikan yang disebut dengan istilah “Lulus”, karena secara sederhana jika dikaji mendalam melalui sudut pandang KTSP, UN tidak lebih hanya dapat dijadikan sebagai bahan kajian (wacana) proses belajar saja. Hal ini terlihat dengan jelas dari tiap item soal yang diujikan dalam materi UN hanyalah berkisar pada wacana indikator dalam kertas saja, sehingga dapat dikatakan “UN belum mewakili psikomotor yang membutuhkan pengalaman praktikum, afektif yang membutuhkan sikap nyata tiap individu siswa yang sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal”. Maka, UN dalam hal ini menurut KTSP dengan sendirinya dianggap “Cacat”.
Seharusnya materi UN merujuk KTSP sehingga tiap bidang studi yang diujikan, minimal memenuhi 3 unsur pokok pengembangan bagi anak didik yaitu Kognitif dengan bentuk soal yang bersifat mengembangkan kemampuan daya pikir anak, Afektif yang bersifat pembentukan tindak-sikap nyata anak pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan materi pokok bahan ajar dan Psikomotorik yang bersifat praktikum dan pengalaman belajar. Pertanyaan yang muncul dalam dinamika pendidikan sekarang adalah :
Apakah dapat dikatakan tercapai/ berhasil mewakili seluruh bidang pendidikan yang diajarkan pada anak didik jika materi bidang UN yang diujikan hanya yang tertentu saja (contoh materi bidang studi UN pada Madrasah Aliyah jurusan IPS : Matematika, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia) seperti yang sudah terlaksana ? Atas dasar apa? Dengan menggunakan teori pendidikan yang manakah hal ini dapat dibenarkan ? Bagaimana fungsi dan kedudukan bidang studi selain bidang studi UN dalam KTSP ? Bagaimana jika siswa lebih berprestasi dibidang studi selain bidang UN sedangkan dalam UN ternyata dia bernilai “gagal” ? Sudah benarkah sistim pendidikan kita dengan haluan KTSP ? 
Dalam pedoman pendidikan dan pengajaran dijelaskan bahwa sudah seharusnya apa yang telah diajarkan itu diujikan, karena tujuan utama ujian/ latihan adalah untuk mengukur dan mendapatkan gambaran yang sejelas mungkin tentang keberhasilan sebuah proses pendidikan. Maka, teori pengajarannya juga harus dipilih dengan tepat sesuai dengan materi bahan ajar, bidang studi, taraf perkembangan anak didik sehingga cara pengujiannya pun sesuai dengan metode pengajarannya. Yang perlu diingat, bahwa pendidikan bukan permainan belaka yang dapat dengan mudah diganti-ganti tanpa melihat efek yang ditimbulkan dari proses tiap pergantian itu, karena pendidikan merupakan satu hal yang memiliki dampak luar biasa pada perkembangan anak didik, mental bangsa serta penentu masa depan bangsa Indonesia ini. “Sepandai-pandai tupai melompat, ia akan jatuh juga” yang berarti bahwa semakin berkembang sistem pendidikan, maka semakin lebar pula peluang untuk gagal jika tidak dicermati lagi.
Indonesia merupakan negara berpulau-berair-berdarat-bergunung-berhutan-berpesisir. Kondisi inilah yang secara otomatis mengharuskan untuk merubah gaya berfikir cerah terhadap pendidikan. Kurikulum Konstruktivis memandang bahwa cara berfikir kita sudah salah kaprah tentang pengembangan pendidikan. Potensi Lokal dan Regional-lah yang seharusnya menjadi pedoman dasar perubahan kurikulum. Sehingga potensi tersebut dihadapkan pada tuntutan zaman, sebagai bahan tambang yang harus terus digali dan dikembangkan maksimal.
Sebagai contoh mudah, anak desa terpencil jauh dipedalaman hutan diberikan pembelajaran yang bermuatan gambaran kehidupan kota. Apakah yang akan terjadi ? Tentunya ada banyak jawaban yang kita dapatkan, diantaranya jika mereka suatu saat nanti ingin hidup di kota sebagaimana yang ia dapatkan dari pelajarannya, maka konsekwensinya kota akan semakin padat dan parahnya kebudayaan asli mereka serta kekayaan alamnya akan musnah dengan sendirinya seiring mereka tinggal di kota. intinya, NKRI akan Habis dimakan bangsa lainnya yang masuk tanpa kita sadari.
Solusinya, UNAS yang berskala nasional hematnya diganti dengan UREG (ujian regional) sesuai dengan potensi wilayah dan budayanya masing-masing. Unas termasuk tidak memanusiakan siswa sebagai mana garis besar pendidikan, Sebab konstelasi kecerdasan siswa masih didasarkan pada pemboikotan pengetahuan yang minim berbasis lingkungan dan masa depannya.