15 May 2013

2 KITAB AHKAM ASH-SHULTHONIYAH TENTANG KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA ISLAM


Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk aksi bernegara, dimana sebuah negara dikatakan berkonstitusi demokrasi, maka pemilihan umum adalah ciri-ciri utamanya. Aksi demokrasi ini biasanya dikenal dengan pesta rakyat, sebab seluruh elemen masyarakat itu wajib mengikutinya hingga tuntas.
Begitu pentingnya pemilihan umum ini, hingga Islam-pun turut mengatur secara rinci dan detil tentang bagaimana, problematikanya serta solusi penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis ini. Oleh karena pentingnya pemilihan umum ini yang didalamnya terdapat tujuan tinggi dan mulia yakni menegakkan, merealisasikan serta menjembatani aspirasi rakyat, maka penyelenggaraan pemilihan umum serta partisipasi seluruh elemen masyarakat menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh semua pihak tanpa terkecuali.
Hubungan antara agama dengan negara dalam Islam telah diberikan teladannya oleh Nabi Muhammad SAW sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (Yatsrib, kota Par Excellenge). Dari nama yang dipilih nabi bagi kota hijrahnya itu, telah menunjukkan rencana beliau dalam rangka mengemban misi sucinya dari Alloh SWT, yakni menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi untuk menghasilkan sebuah entitas politik “sebuah negara”.
Menurut Islam, pemilihan umum adalah sebuah kegiatan yang wajib diikuti dan didukung sepenuhnya secara positif oleh rakyat. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Qur’an yakni menciptakan sebuah negara yang makmur dan sentosa penuh dengan rahmat Alloh SWT (Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofuur). Untuk menuju ke puncak tersebut, maka jalan satu-satunya adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secra adil, siapa yang pantas dan memenuhi segala kriteria kepemimpinan (kepala negara/ Presiden).
Sebuah negara hanya dapat dikendalikan oleh seorang pemimpin yang jujur, arif dan bijaksana dalam mengambil serta menata keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi serta ajaran Islam.
Dalam sejarah Islam, sistem demokrasi telah dijalankan oleh nabi Muhammad SAW sebagai pelopor demokrasi dan dilanjutkan oleh para sahabat beliau (yang bergelar Khulafa’ur Rasyidin) setelah beliau wafat, yakni Kholifah Abu Bakr, Kholifah Umar Ibnu Khottob, Kholifah Usman Ibn Affan serta kholifah Ali Ibn Abi Tholib. Mereka selalu memegang prinsip Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang diantaranya adalah mengedepankan etika demokrasi Islam dalam bernegara.
Pemilihan dan pengangkatan ke-empat kholifah tersebut selalu melalui pemilihan langsung oleh dewan perwakilan rakyat (istilahnya : Ahlul Halli Wal ‘Aqdi), Parlemen (istilahnya : Ahlul Ikhtiyar) serta Dewan Imam/ Kholifah.
Menurut Robert N. Bellah (pakar Sosiologi agama terkemuka), negara Madinah pimpinan nabi ini merupakan model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Mohamed Arkound (pemikir Islam kontemporer terdepan) menyebut usaha nabi ini sebagai eksperimen Madinah, yang telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan Sosial-Politik yang demokratik, dengan wujud historis terpenting dalam sistem ini adalah “Piagam Madinah”, yang dikalangan para ahli dikenal “Konstitusi Madinah”. Adapun isi lengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibnu Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad Ibnu Hisyam (wafat 218 H).
Dalam teori maupun prakteknya, Nabi Muhammad SAW menempati posisi yang unik yakni sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang ketuhanan, sekaligus pemimpin pemerintahan Islam pertama. Sejak wafatnya beliau yang tidak terduga itulah yang menjadi penyebab larutnya masyarakat dalam ketidak-pastian tentang krisis pengganti beliau.
Dari sekelumit kilas balik sejarah demokrasi Islam ini, kita dapat memberi benang merah bahwa Islam menghendaki dan menganjurkan untuk selalu berdemokrasi dalam bernegara.
Ada 2 buah kitab klasik yang memuat etika politik dan tata negara Islam secara lengkap dan detil. Kedua buah kitab ini ditulis oleh 2 orang fuqoha’ (pakar fiqh dan politik) yang ilmunya tidak terbantahkan lagi yakni Abu Al-Hasan Imam Al-Mawardi (lahir di Baghdad tahun 370 H, tokoh madzhab Syafi’iyah) dan Abu Ya’laa Al-Farra’ (lahir di Baghdad tahun 380 H, tokoh madzhab Hambaliyah). Keduanya adalah hakim agung pada masa dinasti Abbasyiah ke-24 dan ke-25.
Kedua tokoh ini memiliki banyak kesamaan sehingga banyak kalangan yang menduga bahwa salah satu dari keduanya merupakan plagiator (penjiplak karya) bagi yang lain, padahal kenyataannya tidak ada dari keduanya yang seperti dugaan itu. Kesamaan itu diantaranya adalah dari generasi dan masa yang sama, berasal dari lokasi yang sama namun diantara keduanya memang tidak pernah saling kenal, pernah menjabat sebagai hakim agung dinasti yang sama, masing-masing mengarang kitab dengan judul, seni artistik, sistematika, dalil, fokus kajian yang sama yakni Kitab Al-Ahkam Al-Shulthoniyah. Kedua kitab ini telah lama dianggap sebagai “Kitab Induk dan Dokumen kunci dalam evolusi pemikiran politik Islam” oleh para pakar politik dan tata negara sedunia.
Keduanya menyebutkan bahwa sesungguhnya Kholifah (Kepala negara) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pemberian jabatan kepala negara kepada orang yang mampu menjalankan tugas diatas pada umat adalah wajib menurut Ijma’ (consensus ‘Ulma). Jika kepala negara adalah hal yang wajib ditunaikan menurut syari’at, maka status wajibnya khilafah (kepemimpinan) adalah fardlu kifayah. Artinya jika kepemimpinan (tugas kepala negara) telah dijalankan oleh orang yang berhak menjalankannya, maka kepemimpinan tersebut gugur dari orang lain. Namun, jika tidak ada orang yang menjalankannya maka harus ada dua pihak :
·      Menurut Abu Ya’laa Al-Farraa :
a.  Dewan Pemilih yang bertugas memilih kepala negara bagi umat. Syarat yang wajib dipenuhi sebagai Dewan Pemilih yakni adil, memiliki ilmu yang mumpuni tentang siapa yang paling berhak menjadi kepala negara, dari golongan pemikir sehingga ia mampu melihat dan mempertimbangkan dengan mendalam orang-orang yang memiliki kelebihan sebelum diambil keputusan.
b.   Dewan Imam yang bertugas mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai kepala negara. Syarat yang wajib dipenuhi sebagai Dewan Imam yakni keturunan Quraisy, mempunyai sifat dan sikap yang pantas sebagai seorang pemimpin seperti merdeka (bukan budak), Baligh, Aqil (cerdas,jenius serta Adil), seorang kurator (wali tentang masalah perang, politik, penegakan peraturan), ahli dalam pengetahuan bidang agama dan ilmu.
·      Menurut Imam Al-Mawardi :
a.  Dewan Pemilih yang bertugas memilih kepala negara bagi umat. Syarat yang wajib dipenuhi sebagai Dewan Pemilih yakni adil dengan segala syaratnya, mempunyai ilmu yang lebih sehingga ia mampu mengetahui siapa yang lebih berhak menjadi kepala negara sesuai dengan kriteria yang sah/ legal, berwawasan luas dan bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi kepala negara, paling efektif, paling segera di taati dan paling ahli dalam mengelola semua kepentingan umat.
b.   Dewan Imam yang memiliki tugas mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi kepala negara. Syarat yang harus dipenuhi yakni adil dengan segala syarat yang universal, memiliki ilmu yang mumpuni sehingga ia mampu berijtihad terhadap segala kasus dan hukum, sehat indrawi sehingga ia mampu menangani segala masalah yang diketahuinya secara langsung, sehat organ tubuh dari segala cacat yang dapat menghalanginya bertindak secara sempurna dan cepat, memiliki wawasan luas yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mampu mengelola semua kepentingan, berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah Negara dan melawan musuh, bernasabkan Quraisy.
Sedangkan sistem pemilihan kepala negara ada 2 yakni sistem pemilihan secara langsung yang dilakukan oleh para Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (Parlemen) dan sistem penunjukan langsung ataupun tidak langsung oleh kepala negara sebelumnya.
Adapun syarat menjadi kepala negara menurut kedua imam tersebut yakni Adil (tidak fasiq), laki-laki, pandai (memiliki ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan hukum Islam), mulia (tidak cacat secara fisik & mental). Sedangkan prosesi pengangkatan kepala negara seperti berikut :
1. Jika parlemen mengadakan sidang untuk memilih kepala negara, maka mereka harus mempelajari secara detil data pribadi orang yang memiliki kriteria tersebut, kemudian mereka memilih siapa diantara orang-orang tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya serta yang paling segera ditaati oleh rakyat. Perlu diingat, bahwa kontrak kepemimpinan adalah akad atas dasar kerelaan dan tidak boleh ada unsur keterpaksaan ataupun dipaksakan.
2.  Bay’at (pengambilan sumpah dalam pengangkatan) dipandang sebagai kewajiban kolektif. Hal itu tidak mesti mengandung arti bahwa berapapun jumlah anggota parlemen (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi) dapat mencukupi bagi absahnya sebuah kepemimpinan. Namun, Imam Al-Mawardi memberikan ketegasan bahwa jumlah minimalnya adalah 2 orang.
Hal ini boleh dilakukan oleh sejumlah muslim yang jumlahnya memadai dan tidak memerlukan seluruh umat tampil kedepan mengikuti proses pembai’atan tersebut. Namun, seorang muslim yang memenuhi syarat secara pribadi bertanggungjawab untuk ikut dalam pembicaraan tersebut dan keputusan Syura. Ada pula anggapan, bahwa penerimaan kepemimpinan sebagai suatu hal yang mengikat sesamanya adalah Fardlu ‘Ain (keharusan yang wajib ditunaikan) dan segera setelah di bai’at serta pencalonannya sebagai kepala negara akan menjadi suatu hal yang memiliki implikasi hukum Fardlu Kifayah.
3.  Jika yang memenuhi kriteria ada 2 orang, maka yang harus dipilih adalah yang lebih tua walaupun usia tidak termasuk syarat sah dalam pemilihan. Jika calon pertama lebih pandai dan calon kedua lebih berani, maka yang dipilih adalah siapa yang paling tepat untuk zaman tersebut. Jika yang diperlukan pada zaman tersebut adalah keberanian sebab adanya usaha melepaskan diri dari kekuasaan pemberontak ataupun penjajah, maka calon yang pemberanilah yang harus dipilih. Namun jika pada zaman tersebut yang memiliki kriteria kepemimpinan hanya satu orang saja dan tidak ada yang lain lagi, maka secara otomatis jabatan tersebut diberikan kepadanya dan tidak boleh diberikan kepada orang lain.
Berikut ini faktor-faktor yang paling diutamakan dalam pengangkatan kepala negara :
1. Jabatan kepala negara diutamakan pada orang yang paling ahli dalam berijtihad diantara para anggota Dewan Imam.
2.   Jika yang memenuhi kriteria ada dua orang, maka yang harus dipilih adalah yang lebih tua. Namun jika hanya ada satu orang, maka jabatan kepala negara secara otomatis harus diberikan kepadanya dan segera dibai’at (diangkat sumpahnya).
3. Adapun pemilihan dan pembai’atan seorang kepala negara juga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di zaman itu.
4.  Penerimaan oleh pihak calon kepala negara adalah wajib, karena merupakan syarat mutlak kepemimpinan.
5.   Tidak diperbolehkan adanya dualisme kepemimpinan walaupun berbeda tempat tapi dalam satu kawasan wilayah. Siapa yang dibai’at terlebih dahulu, maka dialah yang paling berhak mendapatkan kursi kepala negara walaupun pemimpin kedua lebih memenuhi kriterianya.
Tugas dan wewenang kepala negara ada 10, yakni :
1. Menjaga dan melindungi keutuhan agama Islam sesuai dengan prinsipnya yang establish dan ijma’ generasi salaf.
2. Menerapkan hukum kepada kedua belah pihak yang berperkara serta mendamaikannya secara arif dan bijaksana (adil).
3.   Melindungi rakyat dan wilayah negaranya serta tempat-tempat suci agar rakyat senantiasa merasa aman, nyaman, tenteram, damai dan sejahtera.
4. Menegakkan supremasi hukum (Hudud) untuk melindungi hukum Alloh SWT dan hak asasi manusia sebagai hamba-Nya.
5.   Melindungi dan mencegah agar tidak terjadi perpecahan serta tidak diganggu oleh musuh.
6. Memerangi orang-orang yang menentang Islam setelah sebelumnya diserukan kepada mereka dakwah untuk masuk Islam yang kaaffah (menyeluruh dan sempurna).
Abu Ya’la menambahkan bahwa beliau menerima pemerintahan militer (Al-Imamatul Kubro) dalam keadaan De Facto selama diberi kuasa oleh kepala negara, ia bisa melaksanakan kekuasaannya tersebut dengan penuh didaerahnya, dengan syarat ia wajib mengakui sepenuhnya bahwa kekuasaan tertinggi berada pada kepala negara yang sah dalam hal yang berkenaan dengan hukum Islam. Jika otoritas De Facto melanggar (durhaka) terhadap kepala negara yang sah, melanggar norma agama dan keadilan sehingga memperburuk urusan rakyat, maka kewajiban kepala negara untuk memusnahkan otoritas tersebut dengan pedang (dengan kekerasan, kekuatan secara militer).
7. Mengambil dan menyalurkan pajak sesuai dengan yang diwajibkan oleh syara’ secara teks (nash) atau ijtihad dengan tanpa paksaan dan rasa takut.
8.   Mengatur dan menentukan gaji serta apa saja yang berhubungan dengan harta kas negara dengan tidak berlebih-lebihan dan tepat pada waktunya.
9. Mengangkat dan mempercayakan pada penerima amanah yang terlatih (profesional) serta jujur dan dapat dituntut tanggung jawabnya agar pekerjaan tersebut dapat terlaksana dengan lancar, tertib, baik dan benar menurut syara’.
10.Terjun langsung dalam menjalankan tugas-tugasnya sehingga tidak hanyut dalam kesibukannya dengan bersenang-senang atau ibadah saja.
Adapun hal-hal yang diperbolehkan dalam proses pengangkatan kepala negara yaitu :
1.   Perebutan jabatan diantara para calon kepala negara.
2.   Pemberian solusi dalam perebutan jabatan kepala negara dengan sistem undian ataupun penunjukan langsung oleh Dewan Pemilih sebagai alternatif lain.