Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk
aksi bernegara, dimana sebuah negara dikatakan berkonstitusi demokrasi, maka
pemilihan umum adalah ciri-ciri utamanya. Aksi demokrasi ini biasanya dikenal
dengan pesta rakyat, sebab seluruh elemen masyarakat itu wajib mengikutinya
hingga tuntas.
Begitu pentingnya pemilihan umum ini, hingga
Islam-pun turut mengatur secara rinci dan detil tentang bagaimana,
problematikanya serta solusi penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis
ini. Oleh karena pentingnya pemilihan umum ini yang didalamnya terdapat tujuan
tinggi dan mulia yakni menegakkan, merealisasikan serta menjembatani aspirasi
rakyat, maka penyelenggaraan pemilihan umum serta partisipasi seluruh elemen
masyarakat menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh semua pihak tanpa
terkecuali.
Hubungan antara agama dengan negara dalam Islam
telah diberikan teladannya oleh Nabi Muhammad SAW sendiri setelah hijrah dari
Makkah ke Madinah (Yatsrib, kota Par
Excellenge). Dari nama yang dipilih nabi bagi kota hijrahnya itu, telah
menunjukkan rencana beliau dalam rangka mengemban misi sucinya dari Alloh SWT,
yakni menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi untuk menghasilkan sebuah
entitas politik “sebuah negara”.
Menurut Islam, pemilihan umum adalah sebuah
kegiatan yang wajib diikuti dan didukung sepenuhnya secara positif oleh rakyat.
Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Qur’an yakni menciptakan sebuah negara yang
makmur dan sentosa penuh dengan rahmat Alloh SWT (Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofuur). Untuk menuju ke puncak
tersebut, maka jalan satu-satunya adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang
dilakukan secra adil, siapa yang pantas dan memenuhi segala kriteria
kepemimpinan (kepala negara/ Presiden).
Sebuah negara hanya dapat dikendalikan oleh
seorang pemimpin yang jujur, arif dan bijaksana dalam mengambil serta menata
keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi serta ajaran Islam.
Dalam sejarah Islam, sistem demokrasi telah
dijalankan oleh nabi Muhammad SAW sebagai pelopor demokrasi dan dilanjutkan
oleh para sahabat beliau (yang bergelar
Khulafa’ur Rasyidin) setelah beliau wafat, yakni Kholifah Abu Bakr,
Kholifah Umar Ibnu Khottob, Kholifah Usman Ibn Affan serta kholifah Ali Ibn Abi
Tholib. Mereka selalu memegang prinsip Islam berlandaskan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, yang diantaranya adalah mengedepankan etika demokrasi Islam dalam
bernegara.
Pemilihan dan pengangkatan ke-empat kholifah
tersebut selalu melalui pemilihan langsung oleh dewan perwakilan rakyat (istilahnya : Ahlul Halli Wal ‘Aqdi),
Parlemen (istilahnya : Ahlul Ikhtiyar)
serta Dewan Imam/ Kholifah.
Menurut Robert N. Bellah (pakar Sosiologi agama terkemuka), negara Madinah pimpinan nabi ini
merupakan model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Mohamed
Arkound (pemikir Islam kontemporer
terdepan) menyebut usaha nabi ini sebagai eksperimen Madinah, yang telah
menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan Sosial-Politik yang demokratik,
dengan wujud historis terpenting dalam sistem ini adalah “Piagam Madinah”, yang
dikalangan para ahli dikenal “Konstitusi Madinah”. Adapun isi lengkapnya telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibnu Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad Ibnu Hisyam (wafat 218 H).
Dalam teori maupun prakteknya, Nabi Muhammad
SAW menempati posisi yang unik yakni sebagai pemimpin dan sumber spiritual
undang-undang ketuhanan, sekaligus pemimpin pemerintahan Islam pertama. Sejak
wafatnya beliau yang tidak terduga itulah yang menjadi penyebab larutnya
masyarakat dalam ketidak-pastian tentang krisis pengganti beliau.
Dari sekelumit kilas balik sejarah demokrasi
Islam ini, kita dapat memberi benang merah bahwa Islam menghendaki dan
menganjurkan untuk selalu berdemokrasi dalam bernegara.
Ada 2 buah kitab klasik yang memuat etika
politik dan tata negara Islam secara lengkap dan detil. Kedua buah kitab ini
ditulis oleh 2 orang fuqoha’ (pakar fiqh
dan politik) yang ilmunya tidak terbantahkan lagi yakni Abu Al-Hasan Imam
Al-Mawardi (lahir di Baghdad tahun 370 H,
tokoh madzhab Syafi’iyah) dan Abu Ya’laa Al-Farra’ (lahir di Baghdad tahun 380 H, tokoh madzhab Hambaliyah). Keduanya
adalah hakim agung pada masa dinasti Abbasyiah ke-24 dan ke-25.
Kedua tokoh ini memiliki banyak kesamaan
sehingga banyak kalangan yang menduga bahwa salah satu dari keduanya merupakan
plagiator (penjiplak karya) bagi yang
lain, padahal kenyataannya tidak ada dari keduanya yang seperti dugaan itu.
Kesamaan itu diantaranya adalah dari generasi dan masa yang sama, berasal dari
lokasi yang sama namun diantara keduanya memang tidak pernah saling kenal,
pernah menjabat sebagai hakim agung dinasti yang sama, masing-masing mengarang
kitab dengan judul, seni artistik, sistematika, dalil, fokus kajian yang sama
yakni Kitab Al-Ahkam Al-Shulthoniyah. Kedua kitab ini telah lama dianggap
sebagai “Kitab Induk dan Dokumen kunci dalam
evolusi pemikiran politik Islam” oleh para pakar politik dan tata negara sedunia.
Keduanya menyebutkan bahwa sesungguhnya Kholifah (Kepala negara)
itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur dunia. Pemberian jabatan kepala negara kepada orang yang mampu
menjalankan tugas diatas pada umat adalah wajib menurut Ijma’ (consensus
‘Ulma). Jika kepala negara adalah hal yang wajib ditunaikan menurut
syari’at, maka status wajibnya khilafah (kepemimpinan) adalah fardlu
kifayah. Artinya jika kepemimpinan (tugas kepala negara) telah
dijalankan oleh orang yang berhak menjalankannya, maka kepemimpinan tersebut
gugur dari orang lain. Namun, jika tidak ada orang yang menjalankannya maka
harus ada dua pihak :
·
Menurut Abu Ya’laa
Al-Farraa :
a. Dewan Pemilih yang
bertugas memilih kepala negara bagi umat. Syarat yang wajib dipenuhi sebagai
Dewan Pemilih yakni adil, memiliki ilmu yang mumpuni tentang siapa yang paling
berhak menjadi kepala negara, dari golongan pemikir sehingga ia mampu melihat
dan mempertimbangkan dengan mendalam orang-orang yang memiliki kelebihan
sebelum diambil keputusan.
b. Dewan Imam yang
bertugas mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai kepala negara. Syarat
yang wajib dipenuhi sebagai Dewan Imam yakni keturunan Quraisy, mempunyai sifat
dan sikap yang pantas sebagai seorang pemimpin seperti merdeka (bukan budak),
Baligh, Aqil (cerdas,jenius serta Adil), seorang kurator (wali
tentang masalah perang, politik, penegakan peraturan), ahli dalam
pengetahuan bidang agama dan ilmu.
·
Menurut Imam
Al-Mawardi :
a. Dewan Pemilih yang
bertugas memilih kepala negara bagi umat. Syarat yang wajib dipenuhi sebagai
Dewan Pemilih yakni adil dengan segala syaratnya, mempunyai ilmu yang lebih
sehingga ia mampu mengetahui siapa yang lebih berhak menjadi kepala negara
sesuai dengan kriteria yang sah/ legal, berwawasan luas dan bijaksana yang
membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi kepala negara, paling
efektif, paling segera di taati dan paling ahli dalam mengelola semua
kepentingan umat.
b.
Dewan Imam yang
memiliki tugas mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi kepala negara.
Syarat yang harus dipenuhi yakni adil dengan segala syarat yang universal, memiliki
ilmu yang mumpuni sehingga ia mampu berijtihad terhadap segala kasus dan hukum,
sehat indrawi sehingga ia mampu menangani segala masalah yang diketahuinya
secara langsung, sehat organ tubuh dari segala cacat yang dapat menghalanginya
bertindak secara sempurna dan cepat, memiliki wawasan luas yang membuatnya
mampu memimpin rakyat dan mampu mengelola semua kepentingan, berani dan ksatria
yang membuatnya mampu melindungi wilayah Negara dan melawan musuh, bernasabkan
Quraisy.
Sedangkan sistem pemilihan kepala negara ada 2 yakni sistem pemilihan
secara langsung yang dilakukan oleh para Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (Parlemen)
dan sistem penunjukan langsung ataupun tidak langsung oleh kepala negara
sebelumnya.
Adapun syarat menjadi kepala negara menurut kedua imam tersebut yakni Adil
(tidak fasiq), laki-laki, pandai (memiliki ilmu yang membuatnya mampu
berijtihad terhadap kasus-kasus dan hukum Islam), mulia (tidak cacat
secara fisik & mental). Sedangkan prosesi pengangkatan kepala negara
seperti berikut :
1. Jika parlemen
mengadakan sidang untuk memilih kepala negara, maka mereka harus mempelajari
secara detil data pribadi orang yang memiliki kriteria tersebut, kemudian
mereka memilih siapa diantara orang-orang tersebut yang paling banyak
kelebihannya, paling lengkap kriterianya serta yang paling segera ditaati oleh
rakyat. Perlu diingat, bahwa kontrak kepemimpinan adalah akad atas dasar kerelaan
dan tidak boleh ada unsur keterpaksaan ataupun dipaksakan.
2. Bay’at (pengambilan
sumpah dalam pengangkatan) dipandang sebagai kewajiban kolektif. Hal itu
tidak mesti mengandung arti bahwa berapapun jumlah anggota parlemen (Ahlul
Halli Wal ‘Aqdi) dapat mencukupi bagi absahnya sebuah kepemimpinan. Namun,
Imam Al-Mawardi memberikan ketegasan bahwa jumlah minimalnya adalah 2 orang.
Hal ini boleh
dilakukan oleh sejumlah muslim yang jumlahnya memadai dan tidak memerlukan
seluruh umat tampil kedepan mengikuti proses pembai’atan tersebut. Namun,
seorang muslim yang memenuhi syarat secara pribadi bertanggungjawab untuk ikut
dalam pembicaraan tersebut dan keputusan Syura. Ada pula anggapan, bahwa
penerimaan kepemimpinan sebagai suatu hal yang mengikat sesamanya adalah Fardlu
‘Ain (keharusan yang wajib ditunaikan) dan segera setelah di bai’at
serta pencalonannya sebagai kepala negara akan menjadi suatu hal yang memiliki
implikasi hukum Fardlu Kifayah.
3. Jika
yang memenuhi kriteria ada 2 orang, maka yang harus dipilih adalah yang lebih
tua walaupun usia tidak termasuk syarat sah dalam pemilihan. Jika calon pertama
lebih pandai dan calon kedua lebih berani, maka yang dipilih adalah siapa yang
paling tepat untuk zaman tersebut. Jika yang diperlukan pada zaman tersebut
adalah keberanian sebab adanya usaha melepaskan diri dari kekuasaan pemberontak
ataupun penjajah, maka calon yang pemberanilah yang harus dipilih. Namun jika pada
zaman tersebut yang memiliki kriteria kepemimpinan hanya satu orang saja dan
tidak ada yang lain lagi, maka secara otomatis jabatan tersebut diberikan
kepadanya dan tidak boleh diberikan kepada orang lain.
Berikut
ini faktor-faktor yang paling diutamakan dalam pengangkatan kepala negara :
1. Jabatan kepala negara
diutamakan pada orang yang paling ahli dalam berijtihad diantara para anggota
Dewan Imam.
2. Jika yang memenuhi
kriteria ada dua orang, maka yang harus dipilih adalah yang lebih tua. Namun
jika hanya ada satu orang, maka jabatan kepala negara secara otomatis harus
diberikan kepadanya dan segera dibai’at (diangkat sumpahnya).
3. Adapun pemilihan dan
pembai’atan seorang kepala negara juga harus disesuaikan dengan situasi dan
kondisi di zaman itu.
4. Penerimaan oleh pihak
calon kepala negara adalah wajib, karena merupakan syarat mutlak kepemimpinan.
5. Tidak diperbolehkan
adanya dualisme kepemimpinan walaupun berbeda tempat tapi dalam satu kawasan
wilayah. Siapa yang dibai’at terlebih dahulu, maka dialah yang paling berhak
mendapatkan kursi kepala negara walaupun pemimpin kedua lebih memenuhi
kriterianya.
Tugas
dan wewenang kepala negara ada 10, yakni :
1. Menjaga dan
melindungi keutuhan agama Islam sesuai dengan prinsipnya yang establish dan
ijma’ generasi salaf.
2. Menerapkan hukum
kepada kedua belah pihak yang berperkara serta mendamaikannya secara arif dan
bijaksana (adil).
3. Melindungi rakyat dan
wilayah negaranya serta tempat-tempat suci agar rakyat senantiasa merasa aman,
nyaman, tenteram, damai dan sejahtera.
4. Menegakkan supremasi
hukum (Hudud) untuk melindungi hukum Alloh SWT dan hak asasi manusia sebagai
hamba-Nya.
5. Melindungi dan
mencegah agar tidak terjadi perpecahan serta tidak diganggu oleh musuh.
6. Memerangi orang-orang
yang menentang Islam setelah sebelumnya diserukan kepada mereka dakwah untuk
masuk Islam yang kaaffah (menyeluruh dan sempurna).
Abu Ya’la menambahkan bahwa beliau menerima
pemerintahan militer (Al-Imamatul Kubro) dalam keadaan De Facto selama diberi kuasa
oleh kepala negara, ia bisa melaksanakan kekuasaannya tersebut dengan penuh
didaerahnya, dengan syarat ia wajib mengakui sepenuhnya bahwa kekuasaan
tertinggi berada pada kepala negara yang sah dalam hal yang berkenaan dengan
hukum Islam. Jika otoritas De Facto melanggar (durhaka) terhadap kepala negara yang sah, melanggar norma agama
dan keadilan sehingga memperburuk urusan rakyat, maka kewajiban kepala negara untuk
memusnahkan otoritas tersebut dengan pedang (dengan
kekerasan, kekuatan secara militer).
7. Mengambil dan
menyalurkan pajak sesuai dengan yang diwajibkan oleh syara’ secara teks (nash) atau ijtihad dengan tanpa paksaan
dan rasa takut.
8. Mengatur dan
menentukan gaji serta apa saja yang berhubungan dengan harta kas negara dengan
tidak berlebih-lebihan dan tepat pada waktunya.
9. Mengangkat dan
mempercayakan pada penerima amanah yang terlatih (profesional) serta jujur dan dapat dituntut tanggung jawabnya agar
pekerjaan tersebut dapat terlaksana dengan lancar, tertib, baik dan benar
menurut syara’.
10.Terjun langsung dalam
menjalankan tugas-tugasnya sehingga tidak hanyut dalam kesibukannya dengan
bersenang-senang atau ibadah saja.
Adapun
hal-hal yang diperbolehkan dalam proses pengangkatan kepala negara yaitu :
1. Perebutan jabatan
diantara para calon kepala negara.
2. Pemberian solusi
dalam perebutan jabatan kepala negara dengan sistem undian ataupun penunjukan
langsung oleh Dewan Pemilih sebagai alternatif lain.