15 May 2013

PRAMUKA - KURIKULUM YANG SEMPURNA

Akhir-akhir ini, pendidikan mulai menampakkan peran pentingnya bagi masyarakat dan masa depan bangsanya. Dimana-mana telah digaungkan tentang betapa pentingnya pendidikan yang dimulai dari titik terendah kelas bawah. Maka kurikulum-pun harus segera diubah dan diproyeksikan untuk mengubah nasib bangsa secara totalitas. Sebagai hasilnya, peran para guru dan sekolah harus digenjot ikut merubah sistem pendidikan yang diterapkannya kepada siswa. Konon, pendidikan di Indonesia kini lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan dasar siswa yang disebut Competantion Basic Education.
Di abad 19, Eropa mengenal sistim pendidikan yang dikenal 3R’s (Reading, Writing, Arithmatic) yang menekankan bahwa seharusnya sistim pendidikan itu difokuskan pada pengetahuan yang didapat dari pengalaman banyak membaca (reading), diaplikasikan dalam bentuk karya tulis (writting) dan pembentukan tingkat kecerdasan otak siswa dengan banyak mengajarkan pola berhitung disetiap pelajaran (Arithmatic). Di Amerika juga mengenal istilah 3H’s (Head, Heart, Hand) dalam sistim pendidikan nasional mereka. Mereka beranggapan bahwa untuk menghasilkan pribadi generasi yang unggul, maka pendidikan harus mengacu pada pembentukan, pengisian dan pencerdasan otak dikepala tiap individu siswa (Head), berkepribadian sosial yang berdasarkan pertimbangan hati nurani manusiawi (Heart),  aplikatif, kreatif dan inovatif dalam pengetahuan (Hand). Di Indonesia, sistim pendidikan ini disebut Pendidikan Berbasis Kompetensi siswa (Competantion Basic Education).
Senada dengan pengembangan kemampuan dasar siswa dibidang pendidikan, dalam hal ini, pemerintah Indonesia telah menggariskan kisi-kisi materi pokok yang menjadi sasaran alur proses pendidikan dengan jelas. Namun disisi lain, ternyata telah mengesampingkan sistem pendidikan lain, yang justru lebih berpengaruh dalam proses kehidupan siswa, sebagai hasil produk pendidikan itu sendiri. Tujuan utama dalam pengembangan kompetensi dasar siswa sebagai generasi penjaga dan penerus bangsa diantaranya adalah menjadikan manusia Indonesia seutuhnya (matang secara mental dan spiritual) dengan bekal ilmu pengetahuan yang mumpuni, keimanan yang kuat, terampil dalam pelaksanaan dan beradab (berdasarkan hati nurani) dalam bersosial agar mampu membawa bangsa dan tanah air Indonesia ke arah yang lebih unggul, maju dan sejahtera total. Pada intinya, sistem pendidikan sekarang lebih ditekankan pada proses pengembangan dan penguatan kecakapan hidup (Life Skills Development) yang hasilnya diharapkan agar anak didik mampu berusaha hidup mandiri dan sukses tanpa menyusahkan yang lain.
Salah satu model pendidikan yang mengandalkan proses pengembangan dan penguatan kecakapan hidup (Life Skills Development) di Indonesia adalah Kepramukaan. Diakui atau tidak, keberadaannya saat ini banyak dipandang sebelah mata. Dalam kenyataannya, bahwa seluruh bidang pendidikan dapat dikatakan berubah menuju kearah perbaikan dengan banyaknya bantuan dan subsidi pemerintah dibidang pendidikan formal dan non-formal yang ada. Namun, ternyata pendidikan kepramukaan justru belum mendapatkan posisi riil yang layak dipemerintah dan dibidang kependidikan itu sendiri. Padahal, jika dilihat dan dikaji ulang secara mendasar melalui kacamata pendidikan, kontribusi kepramukaan cukup banyak dan besar.
Dari sinilah muncul pertanyaan sederhana, Bagaimanakah posisi riil sistem pendidikan kepramukaan dalam garis besar sistem pendidikan nasional berbasis kompetensi (Competantion Basic Education) di Indonesia kini ? Termasuk non-formalkah Kepramukaan di Indonesia ? Bagaimanakah tindakan pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan dalam menyikapi pengembangan kepramukaan yang sarat metode pendidikan tepat guna bagi siswa, masyarakat dan bangsa saat ini ?
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa, banyak sekolah/ madrasah yang hanya mementingkan program pendidikan yang sifatnya berorientasi pada penggalangan dana untuk kebutuhan sekolah dan siswa saja, tanpa memikirkan wadah untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa yang lain. Hanya disekolah/ madrasah tertentu saja pramuka diajarkan secara intensif, padahal kepramukaan justru dapat menampung lebih banyak proses pengajaran dengan metode-metode tepat gunanya untuk pengembangan kecakapan hidup yang bermutu bagi siswa kelak. Kini, kepramukaan hanya tinggal seragam karena banyak image sekolah/ madrasah yang memandang dan menganggap bahwa kepramukaan tidak dapat menghantarkan siswanya untuk terampil bekerja, padahal jikalau guru dan sekolah mau kreatif untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik, dapat menggunakan metode-metode pengajaran kepramukaan yang simple, sistematis dan lebih menyenangkan bagi siswa, sehingga dapat membawa suasana pro-aktif, serasi dan kondusif bagi semuanya  guna mencapai tujuan yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Bukankah tuntutan sistem pengajaran melalui KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) maupun KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) mengharuskan proses pengajaran yang membawa rasa nyaman/ rileks pada siswa serta dapat mengembangkan kompetensi dasar tiap siswa semaksimal mungkin ?
Hal ini dapat kita ketahui tingkat kecakapan tiap siswa dengan memperhatikan berbagai lambang/ kode yang digunakan sebagai atribut sistim tanda kecakapan dalam kepramukaan yang menandai prestasi ketuntasan kecakapan hidup yang berhasil ditunjukkan dengan sempurna oleh para peserta didik pramuka. Perlu diingat, bahwa sistimatika pendidikan diseluruh dunia condong berurat-akar dari sistimatika pendidikan kepramukaan yang didirikan oleh bapak pandu dunia yaitu Robert Stephenson Smith (22 Pebruari 1857-08 Januari 1941) atau dikenal Lord Smith Boden Powel Gewel (B8’s).
Demikianlah gambaran sekilas bias sistim pendidikan yang selalu ingin menunjukkan arah perbaikan demi masa depan anak didik kita dan kemajuan bangsa kita. Pendidikan adalah satu diantara sedikit perkara yang sebenarnya terlalu besar untuk digagas setuntas-tuntasnya. Pendidikan adalah salah satu wilayah dimana – seperti kata HL. Mencken – “selalu diadakan penyelesaian yang jitu, rapi, sederhana – dan selalu keliru ”. Karenanya, pendidikan mesti dipikirkan sehati-hati mungkin, meskipun tak terelakkan selalu ada yang luput sebagaimana layaknya fitrah hasil kebijakan manusia.