Akhir-akhir
ini, pendidikan mulai menampakkan peran pentingnya bagi masyarakat dan masa
depan bangsanya. Dimana-mana telah digaungkan tentang betapa pentingnya
pendidikan yang dimulai dari titik terendah kelas bawah. Maka kurikulum-pun
harus segera diubah dan diproyeksikan untuk mengubah nasib bangsa secara
totalitas. Sebagai hasilnya, peran para guru dan sekolah harus digenjot ikut
merubah sistem pendidikan yang diterapkannya kepada siswa. Konon, pendidikan di
Indonesia kini lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan dasar siswa yang
disebut Competantion Basic Education.
Di
abad 19, Eropa mengenal sistim pendidikan yang dikenal 3R’s (Reading,
Writing, Arithmatic) yang menekankan bahwa seharusnya sistim pendidikan itu
difokuskan pada pengetahuan yang didapat dari pengalaman banyak membaca (reading),
diaplikasikan dalam bentuk karya tulis (writting) dan pembentukan
tingkat kecerdasan otak siswa dengan banyak mengajarkan pola berhitung disetiap
pelajaran (Arithmatic). Di Amerika juga mengenal istilah 3H’s (Head,
Heart, Hand) dalam sistim pendidikan nasional mereka. Mereka beranggapan
bahwa untuk menghasilkan pribadi generasi yang unggul, maka pendidikan harus
mengacu pada pembentukan, pengisian dan pencerdasan otak dikepala tiap individu
siswa (Head), berkepribadian sosial yang berdasarkan pertimbangan hati
nurani manusiawi (Heart), aplikatif, kreatif dan inovatif dalam
pengetahuan (Hand). Di Indonesia, sistim pendidikan ini disebut
Pendidikan Berbasis Kompetensi siswa (Competantion Basic Education).
Senada dengan
pengembangan kemampuan dasar siswa dibidang pendidikan, dalam hal ini,
pemerintah Indonesia telah menggariskan kisi-kisi materi pokok yang menjadi
sasaran alur proses pendidikan dengan jelas. Namun disisi lain, ternyata telah
mengesampingkan sistem pendidikan lain, yang justru lebih berpengaruh dalam
proses kehidupan siswa, sebagai hasil produk pendidikan itu sendiri. Tujuan
utama dalam pengembangan kompetensi dasar siswa sebagai generasi penjaga dan
penerus bangsa diantaranya adalah menjadikan manusia Indonesia seutuhnya (matang
secara mental dan spiritual) dengan bekal ilmu pengetahuan yang mumpuni,
keimanan yang kuat, terampil dalam pelaksanaan dan beradab (berdasarkan hati
nurani) dalam bersosial agar mampu membawa bangsa dan tanah air Indonesia
ke arah yang lebih unggul, maju dan sejahtera total. Pada intinya, sistem
pendidikan sekarang lebih ditekankan pada proses pengembangan dan penguatan
kecakapan hidup (Life Skills Development) yang hasilnya diharapkan agar
anak didik mampu berusaha hidup mandiri dan sukses tanpa menyusahkan yang lain.
Salah satu model
pendidikan yang mengandalkan proses pengembangan dan penguatan kecakapan hidup (Life
Skills Development) di Indonesia adalah Kepramukaan. Diakui atau tidak,
keberadaannya saat ini banyak dipandang sebelah mata. Dalam kenyataannya, bahwa
seluruh bidang pendidikan dapat dikatakan berubah menuju kearah perbaikan
dengan banyaknya bantuan dan subsidi pemerintah dibidang pendidikan formal dan
non-formal yang ada. Namun, ternyata pendidikan kepramukaan justru belum
mendapatkan posisi riil yang layak dipemerintah dan dibidang kependidikan itu
sendiri. Padahal, jika dilihat dan dikaji ulang secara mendasar melalui kacamata
pendidikan, kontribusi kepramukaan cukup banyak dan besar.
Dari sinilah
muncul pertanyaan sederhana, Bagaimanakah posisi riil sistem pendidikan
kepramukaan dalam garis besar sistem pendidikan nasional berbasis kompetensi (Competantion
Basic Education) di Indonesia kini ? Termasuk non-formalkah Kepramukaan di
Indonesia ? Bagaimanakah tindakan pemerintah, dalam hal ini departemen
pendidikan dalam menyikapi pengembangan kepramukaan yang sarat metode
pendidikan tepat guna bagi siswa, masyarakat dan bangsa saat ini ?
Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa, banyak sekolah/ madrasah yang hanya
mementingkan program pendidikan yang sifatnya berorientasi pada penggalangan
dana untuk kebutuhan sekolah dan siswa saja, tanpa memikirkan wadah untuk
mengembangkan kompetensi dasar siswa yang lain. Hanya disekolah/ madrasah
tertentu saja pramuka diajarkan secara intensif, padahal kepramukaan justru
dapat menampung lebih banyak proses pengajaran dengan metode-metode tepat
gunanya untuk pengembangan kecakapan hidup yang bermutu bagi siswa kelak. Kini,
kepramukaan hanya tinggal seragam karena banyak image sekolah/ madrasah
yang memandang dan menganggap bahwa kepramukaan tidak dapat menghantarkan
siswanya untuk terampil bekerja, padahal jikalau guru dan sekolah mau kreatif
untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik, dapat menggunakan metode-metode pengajaran
kepramukaan yang simple, sistematis dan lebih menyenangkan bagi siswa, sehingga
dapat membawa suasana pro-aktif, serasi dan kondusif bagi semuanya guna mencapai tujuan yang sesuai dengan kurikulum
yang berlaku. Bukankah tuntutan sistem pengajaran melalui KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) maupun KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
mengharuskan proses pengajaran yang membawa rasa nyaman/ rileks pada siswa
serta dapat mengembangkan kompetensi dasar tiap siswa semaksimal mungkin ?
Hal ini dapat
kita ketahui tingkat kecakapan tiap siswa dengan memperhatikan berbagai
lambang/ kode yang digunakan sebagai atribut sistim tanda kecakapan
dalam kepramukaan yang menandai prestasi ketuntasan kecakapan hidup yang
berhasil ditunjukkan dengan sempurna oleh para peserta didik pramuka. Perlu
diingat, bahwa sistimatika pendidikan diseluruh dunia condong berurat-akar dari
sistimatika pendidikan kepramukaan yang didirikan oleh bapak pandu dunia yaitu Robert
Stephenson Smith (22 Pebruari 1857-08 Januari 1941) atau dikenal Lord
Smith Boden Powel Gewel (B8’s).
Demikianlah gambaran sekilas bias sistim
pendidikan yang selalu ingin menunjukkan arah perbaikan demi masa depan anak
didik kita dan kemajuan bangsa kita. Pendidikan adalah satu diantara sedikit
perkara yang sebenarnya terlalu besar untuk digagas setuntas-tuntasnya.
Pendidikan adalah salah satu wilayah dimana – seperti kata HL. Mencken –
“selalu diadakan penyelesaian yang jitu, rapi, sederhana – dan selalu keliru
”. Karenanya, pendidikan mesti dipikirkan sehati-hati mungkin, meskipun tak
terelakkan selalu ada yang luput sebagaimana layaknya fitrah hasil kebijakan
manusia.